Oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi.
Andi menangis, menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai karena menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah hypermarket di Jakarta? Ibunya sudah berusaha membujuk Andi dan mengatakan bahwa sudah banyak mobil-mobilan di rumahnya. Namun Andi malah semakin menjadi-jadi. Ibunya menjadi serba salah, malu dan tidak berdaya menghadapi anaknya. Di satu sisi, ibunya tidak ingin membelikan mainan tersebut karena masih ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Namun disisi lain, kalau tidak dibelikan maka ia kuatir Andi akan menjerit-jerit semakin lama dan keras, sehingga menarik perhatian semua orang dan orang bisa saja menyangka dirinya adalah orangtua yang kejam. Ibunya menjadi bingung....., lalu akhirnya ia terpaksa membeli mainan yang diinginkan Andi. Benarkah tindakan sang Ibu?
Temper Tantrum
Kejadian di atas merupakan suatu kejadian yang disebut sebagai Temper Tantrums atau suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun.
Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3. Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
4. Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
5. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
6. Sulit dialihkan perhatiannya.
Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah beberapa contoh perilaku Tantrum, menurut tingkatan usia:
1. Di bawah usia 3 tahun:
Menangis Menggigit Memukul
Menendang Menjerit Memekik-mekik Melengkungkan punggung Melempar badan ke lantai Memukul-mukulkan tangan Menahan nafas Membentur-benturkan kepala Melempar-lempar barang
2. Usia 3 - 4 tahun:
Perilaku-perilaku tersebut diatas Menghentak-hentakan kaki Berteriak-teriak Meninju Membanting pintu Mengkritik Merengek
3. Usia 5 tahun ke atas
Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas Memaki Menyumpah Memukul kakak/adik atau temannya Mengkritik diri sendiri Memecahkan barang dengan sengaja Mengancam
Faktor Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu.
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.
2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri.
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan.
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum. Contoh lain: anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan,ia memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.
4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa Tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum.Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum.Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan Tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.
5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.
6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).
Tindakan
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa Tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak.Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode Tantrum pasti berakhir. Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku Tantrum adalah bahwa dengan Tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Namun demikian bukan berarti bahwa Tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan Tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia Tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut). Dengan bertindak keliru dalam menyikapi Tantrum, orangtua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.
Pertanyaan sebagian besar orangtua adalah bagaimana cara terbaik dalam menyikapi anak yang mengalami Tantrum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami mencoba untuk memberikan beberapa saran tentang tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi hal tersebut. Tindakan-tindakan ini terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Mencegah terjadinya Tantrum
2. Menangani Anak yang sedang mengalami Tantrum
3. Menangani anak pasca Tantrum
Pencegahan
Langkah pertama untuk mencegah terjadinya Tantrum adalah dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa muncul Tantrum pada si anak. Misalnya, kalau orangtua tahu bahwa anaknya merupakan anak yang aktif bergerak dan gampang stres jika terlalu lama diam dalam mobil di perjalanan yang cukup panjang. Maka supaya ia tidak Tantrum, orangtua perlu mengatur agar selama perjalanan diusahakan sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar mobil.
Tantrum juga dapat dipicu karena stres akibat tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan anak. Dalam hal ini mendampingi anak pada saat ia mengerjakan tugas-tugas dari sekolah (bukan membuatkan tugas-tugasnya lho!!!) dan mengajarkan hal-hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres pada anak karena beban sekolah tersebut. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-permainan, sebaiknya anak pun didampingi orangtua, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat membantu dengan memberikan petunjuk.
Langkah kedua dalam mencegah Tantrum adalah dengan melihat bagaimana cara orangtua mengasuh anaknya. Apakah anak terlalu dimanjakan? Apakah orangtua bertindak terlalu melindungi (over protective), dan terlalu suka melarang? Apakah kedua orangtua selalu seia-sekata dalam mengasuh anak? Apakah orangtua menunjukkan konsistensi dalam perkataan dan perbuatan?
Jika anda merasa terlalu memanjakan anak, terlalu melindungi dan seringkali melarang anak untuk melakukan aktivitas yang sebenarnya sangat dibutuhkan anak, jangan heran jika anak akan mudah tantrum jika kemauannya tidak dituruti. Konsistensi dan kesamaan persepsi dalam mengasuh anak juga sangat berperan. Jika ada ketidaksepakatan, orangtua sebaiknya jangan berdebat dan beragumentasi satu sama lain di depan anak, agar tidak menimbulkan kebingungan dan rasa tidak aman pada anak. Orangtua hendaknya menjaga agar anak selalu melihat bahwa orangtuanya selalu sepakat dan rukun.
Ketika Tantrum Terjadi
Jika Tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:
1. Memastikan segalanya aman. Jika Tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama Tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama Tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.
2. Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.
3. Tidak mengacuhkan Tantrum anak (ignore). Selama Tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan Tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan Tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama Tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.
4. Jika perilaku Tantrum dari menit ke menit malahan bertambah buruk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: "kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih"; "kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong"), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan "mama/papa sayang kamu", "mama ada di sini sampai kamu selesai". Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa rangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.
Ketika Tantrum Telah Berlalu
Saat Tantrum anak sudah berhenti, seberapapun parahnya ledakan emosi yang telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, teguran, maupun sindiran. Juga jangan diberikan hadiah apapun, dan anak tetap tidak boleh mendapatkan apa yang diinginkan (jika Tantrum terjadi karena menginginkan sesuatu). Dengan tetap tidak memberikan apa yang diinginkan si anak, orangtua akan terlihat konsisten dan anak akan belajar bahwa ia tidak bisa memanipulasi orangtuanya.
Berikanlah rasa cinta dan rasa aman Anda kepada anak. Ajak anak, membaca buku atau bermain sepeda bersama. Tunjukkan kepada anak, sekalipun ia telah berbuat salah, sebagai orangtua Anda tetap mengasihinya.
Setelah Tantrum berakhir, orangtua perlu mengevaluasi mengapa sampai terjadi Tantrum. Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau orangtua yang salah merespon perbuatan/keinginan anak? Atau karena anak merasa lelah, frustrasi, lapar, atau sakit? Berpikir ulang ini perlu, agar orangtua bisa mencegah Tantrum berikutnya.
Jika anak yang dianggap salah, orangtua perlu berpikir untuk mengajarkan kepada anak nilai-nilai atau cara-cara baru agar anak tidak mengulangi kesalahannya. Kalau memang ingin mengajar dan memberi nasihat, jangan dilakukan setelah Tantrum berakhir, tapi lakukanlah ketika keadaan sedang tenang dan nyaman bagi orangtua dan anak. Waktu yang tenang dan nyaman adalah ketika Tantrum belum dimulai, bahkan ketika tidak ada tanda-tanda akan terjadi Tantrum. Saat orangtua dan anak sedang gembira, tidak merasa frustrasi, lelah dan lapar merupakan saat yang ideal.
Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa kalau orangtua memiliki anak yang "sulit" dan mudah menjadi Tantrum, tentu tidak adil jika dikatakan sepenuhnya kesalahan orangtua. Namun harus diakui bahwa orangtualah yang punya peranan untuk membimbing anak dalam mengatur emosinya dan mempermudah kehidupan anak agar Tantrum tidak terus-menerus meletup. Beberapa saran diatas mungkin dapat berguna bagi anda terutama bagi para ibu/ayah muda yang belum memiliki pengalaman mengasuh anak. Selamat membaca, semoga bermanfaat
Andi menangis, menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai karena menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah hypermarket di Jakarta? Ibunya sudah berusaha membujuk Andi dan mengatakan bahwa sudah banyak mobil-mobilan di rumahnya. Namun Andi malah semakin menjadi-jadi. Ibunya menjadi serba salah, malu dan tidak berdaya menghadapi anaknya. Di satu sisi, ibunya tidak ingin membelikan mainan tersebut karena masih ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Namun disisi lain, kalau tidak dibelikan maka ia kuatir Andi akan menjerit-jerit semakin lama dan keras, sehingga menarik perhatian semua orang dan orang bisa saja menyangka dirinya adalah orangtua yang kejam. Ibunya menjadi bingung....., lalu akhirnya ia terpaksa membeli mainan yang diinginkan Andi. Benarkah tindakan sang Ibu?
Temper Tantrum
Kejadian di atas merupakan suatu kejadian yang disebut sebagai Temper Tantrums atau suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun.
Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3. Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
4. Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
5. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
6. Sulit dialihkan perhatiannya.
Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah beberapa contoh perilaku Tantrum, menurut tingkatan usia:
1. Di bawah usia 3 tahun:
Menangis Menggigit Memukul
Menendang Menjerit Memekik-mekik Melengkungkan punggung Melempar badan ke lantai Memukul-mukulkan tangan Menahan nafas Membentur-benturkan kepala Melempar-lempar barang
2. Usia 3 - 4 tahun:
Perilaku-perilaku tersebut diatas Menghentak-hentakan kaki Berteriak-teriak Meninju Membanting pintu Mengkritik Merengek
3. Usia 5 tahun ke atas
Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas Memaki Menyumpah Memukul kakak/adik atau temannya Mengkritik diri sendiri Memecahkan barang dengan sengaja Mengancam
Faktor Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu.
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.
2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri.
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan.
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum. Contoh lain: anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan,ia memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.
4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa Tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum.Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum.Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan Tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.
5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.
6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).
Tindakan
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa Tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak.Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode Tantrum pasti berakhir. Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku Tantrum adalah bahwa dengan Tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Namun demikian bukan berarti bahwa Tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan Tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia Tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut). Dengan bertindak keliru dalam menyikapi Tantrum, orangtua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.
Pertanyaan sebagian besar orangtua adalah bagaimana cara terbaik dalam menyikapi anak yang mengalami Tantrum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami mencoba untuk memberikan beberapa saran tentang tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi hal tersebut. Tindakan-tindakan ini terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Mencegah terjadinya Tantrum
2. Menangani Anak yang sedang mengalami Tantrum
3. Menangani anak pasca Tantrum
Pencegahan
Langkah pertama untuk mencegah terjadinya Tantrum adalah dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa muncul Tantrum pada si anak. Misalnya, kalau orangtua tahu bahwa anaknya merupakan anak yang aktif bergerak dan gampang stres jika terlalu lama diam dalam mobil di perjalanan yang cukup panjang. Maka supaya ia tidak Tantrum, orangtua perlu mengatur agar selama perjalanan diusahakan sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar mobil.
Tantrum juga dapat dipicu karena stres akibat tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan anak. Dalam hal ini mendampingi anak pada saat ia mengerjakan tugas-tugas dari sekolah (bukan membuatkan tugas-tugasnya lho!!!) dan mengajarkan hal-hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres pada anak karena beban sekolah tersebut. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-permainan, sebaiknya anak pun didampingi orangtua, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat membantu dengan memberikan petunjuk.
Langkah kedua dalam mencegah Tantrum adalah dengan melihat bagaimana cara orangtua mengasuh anaknya. Apakah anak terlalu dimanjakan? Apakah orangtua bertindak terlalu melindungi (over protective), dan terlalu suka melarang? Apakah kedua orangtua selalu seia-sekata dalam mengasuh anak? Apakah orangtua menunjukkan konsistensi dalam perkataan dan perbuatan?
Jika anda merasa terlalu memanjakan anak, terlalu melindungi dan seringkali melarang anak untuk melakukan aktivitas yang sebenarnya sangat dibutuhkan anak, jangan heran jika anak akan mudah tantrum jika kemauannya tidak dituruti. Konsistensi dan kesamaan persepsi dalam mengasuh anak juga sangat berperan. Jika ada ketidaksepakatan, orangtua sebaiknya jangan berdebat dan beragumentasi satu sama lain di depan anak, agar tidak menimbulkan kebingungan dan rasa tidak aman pada anak. Orangtua hendaknya menjaga agar anak selalu melihat bahwa orangtuanya selalu sepakat dan rukun.
Ketika Tantrum Terjadi
Jika Tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:
1. Memastikan segalanya aman. Jika Tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama Tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama Tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.
2. Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.
3. Tidak mengacuhkan Tantrum anak (ignore). Selama Tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan Tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan Tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama Tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.
4. Jika perilaku Tantrum dari menit ke menit malahan bertambah buruk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: "kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih"; "kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong"), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan "mama/papa sayang kamu", "mama ada di sini sampai kamu selesai". Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa rangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.
Ketika Tantrum Telah Berlalu
Saat Tantrum anak sudah berhenti, seberapapun parahnya ledakan emosi yang telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, teguran, maupun sindiran. Juga jangan diberikan hadiah apapun, dan anak tetap tidak boleh mendapatkan apa yang diinginkan (jika Tantrum terjadi karena menginginkan sesuatu). Dengan tetap tidak memberikan apa yang diinginkan si anak, orangtua akan terlihat konsisten dan anak akan belajar bahwa ia tidak bisa memanipulasi orangtuanya.
Berikanlah rasa cinta dan rasa aman Anda kepada anak. Ajak anak, membaca buku atau bermain sepeda bersama. Tunjukkan kepada anak, sekalipun ia telah berbuat salah, sebagai orangtua Anda tetap mengasihinya.
Setelah Tantrum berakhir, orangtua perlu mengevaluasi mengapa sampai terjadi Tantrum. Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau orangtua yang salah merespon perbuatan/keinginan anak? Atau karena anak merasa lelah, frustrasi, lapar, atau sakit? Berpikir ulang ini perlu, agar orangtua bisa mencegah Tantrum berikutnya.
Jika anak yang dianggap salah, orangtua perlu berpikir untuk mengajarkan kepada anak nilai-nilai atau cara-cara baru agar anak tidak mengulangi kesalahannya. Kalau memang ingin mengajar dan memberi nasihat, jangan dilakukan setelah Tantrum berakhir, tapi lakukanlah ketika keadaan sedang tenang dan nyaman bagi orangtua dan anak. Waktu yang tenang dan nyaman adalah ketika Tantrum belum dimulai, bahkan ketika tidak ada tanda-tanda akan terjadi Tantrum. Saat orangtua dan anak sedang gembira, tidak merasa frustrasi, lelah dan lapar merupakan saat yang ideal.
Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa kalau orangtua memiliki anak yang "sulit" dan mudah menjadi Tantrum, tentu tidak adil jika dikatakan sepenuhnya kesalahan orangtua. Namun harus diakui bahwa orangtualah yang punya peranan untuk membimbing anak dalam mengatur emosinya dan mempermudah kehidupan anak agar Tantrum tidak terus-menerus meletup. Beberapa saran diatas mungkin dapat berguna bagi anda terutama bagi para ibu/ayah muda yang belum memiliki pengalaman mengasuh anak. Selamat membaca, semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar